"Dok, minta resep vitamin penambah nafsu makan ya, Anak saya susah makannya."
Lalu saya berikan resep ini.
Zaman sekarang, di perkotaan, tidak sedikit orangtua datang ke dokter anak dengan keluhan anaknya susah makan.
Sebagai dokter anak, sejujurnya saya bingung, anaknya susah makan, kok datangnya ke saya? Hehe.
Biasanya saya balik bertanya, menurut Ibu, kenapa anaknya susah makan?
"Saya nggak tahu, Dok. Makanya saya ke dokter!.
Saya tanggapi, "Coba Ibu ANALISIS. Kira-kira, kenapa anaknya susah makan?
Setelah dipancing beberapa saat, biasanya si Ibu akan memberikan analisis kemungkinannya. Nah, Ibu bisa kan memperkirakan penyebab anaknya "susah" makan 😊
Kenapa saya beri tanda kutip "susah" makan? Karena sebenarnya, anaknya TIDAK "benar-benar" susah makan, tapi orangtua/caregiver lainnya yang menganggap si bayi/anak susah makan.
Nah lho!
Kok bisa?
Mana yang benar?
Benarkah anak susah makan?
Atau orangtua salah menilai anaknya?
Saya sering tanya, anaknya susah makan SEMUA makanan?
Nggak laper tuh?
Kok gizinya masih baik.
Kadang jawabannya, enggak Dok. Masih mau makan. Tapi susah makan NASI.
Jadi yang benar, susah makan, atau susah makan nasi? Haruskah bayi/anak makan nasi sebagai sumber karbohidrat?
Sejak mulai pemberian MPASI (Makanan Pendamping ASI), prinsipnya harus terpenuhi kebutuhan MAKROnutrien (karbohidrat, protein, lemak) dan MIKROnutrien (vitamin, mineral).
Sumber karbohidrat beragam, bukan cuma beras/nasi atau kentang. Ada ubi, singkong, oat, roti, pasta, dll.
Kalau anak susah makan nasi sebagai sumber karbohidrat, bisa dicari sumber lainnya.
Kira-kira, kenapa anak susah makan nasi?
Tapi mau makan yang lain??
Yup, betul!,
BOSAN.
Pemberian variasi sumber karbohidrat bisa jadi solusi, kan?
Nah, bagaimana kalau susah makan ini sejak bayi?
Muncullah istilah "picky eater", small eater, avoidant restrictive food intake disorder (ARFID), dst.
Pada bayi, sejak mulai MPASI saja, sudah bisa susah makan. Bingung kan? Coba bayi bisa ngomong. Tinggal tanya, kamu maunya makan apa? Ibu pusing ini kamu nggak mau masakan Ibu.
"Keputusasaan" seperti ini akhirnya membawa ke dokter, dan membuat orangtua cari "jalan pintas", vitamin supaya anak mau makan. Padahal ketika merujuk pada berbagai penelitian berbasis-bukti (evidence based), tidak ada vitamin "appetite stimulant" dengan level of evidence sahih.
Sederhananya,
Buatlah anak LAPAR dan sajikan makanan yang ENAK supaya mereka mau makan. Anak yang terlalu banyak minum susu sehingga kenyang dan tidak mau makan?, Ya kurangi susunya. Pada anak diatas 1 tahun, yang penting makan, bukan minum susu. ASI/susu makanan utama bayi dibawah 1 tahun.
Bayi 9 bulan tidak mau makan. Ya jelas, makannya masih nasi tim diaduk jadi satu dengan lauknya. Ia melihat orangtuanya makan nasi goreng atau soto ayam, "kok nikmat banget ya?", Sedangkan diriku makan nasi tim, meskipun dengan olahan berbagai lauk bernutrisi, tapi diaduk jadi satu.
Kalau bisa bicara, si bayi akan curhat, "mengapa orangtuaku tidak berempati dengan diriku?".
Eh, begitu makanannya dipisah penyajiannya, nasi-lauk seperti orangtuanya, langsung LAHAP makannya!.
Kenapa nggak dari dulu ya?
Sejak 6 bulan, boleh kan karbo-lauk-sayur dipisah penyajiannya.
Apalagi bayi sudah berumur 9 bulan. Begitu dikasih nasi dengan tekstur seperti orangtuanya, eh makannya lahap! Bisa dong mengunyah nasi dan lauknya. Dia sudah bosan dengan bubur. Lembek, Apalagi makan bareng ayah-ibu dengan menu yang sama persis, Enak banget makannya!
Lalu bagaimana memastikan bayi/anak tumbuh, ketika makannya sudah lahap dengan "resep" lapar dan enak?
Jangan lupa,
Selalu pantau pertumbuhan secara objektif menggunakan grafik pertumbuhan (growth chart). Berat, tinggi badan, dan lingkar kepala.
Ukur semua!
Plot di grafik.
Harus!!!
Sumber:
Copas Artikel
dr. Arifianto Riyanto, Sp.A
Link comot :
https://www.facebook.com/groups/404268930737941/permalink/908318836999612/?app=fbl