🏡 Fikih Keluarga
☘ *Tes Kesehatan Sebelum Menikah, inilah Pandangan Beberapa Ulama*
Tes kesehatan sebelum menikah biasanya disarankan bagi pasangan yang sedang mengajukan berkas pernikahan ke KUA. Tes ini muncul karena penurunan tingkat kepercayaan dan kejujuran dalam menyampaikan informasi tentang kekurangan (cacat) seseorang, baik fisik maupun kepribadian sebelum dilaksanakannya pernikahan. Di sisi lain, adanya kemajuan ilmu pengetahuan dan meningkatnya sikap kehati-hatian untuk urusan kesehatan dalam rangka memperoleh data yang valid tentang kesehatan calon suami atau istri, sehingga calon pengantin diminta untuk melakukan tes kesehatan.
Tes ini bertujuan untuk mengetahui ada tidaknya penyakit turunan, penyakit menular, penyakit kelamin, dan kebiasaan sehari-hari yang bisa memengaruhi kebiasaan suami-istri di kemudian hari atau memengaruhi kesehatan keturunan mereka.
Bagaimana pandangan syariat terhadap tes ini?
_*Para ulama masih berselisih pendapat tentang hal ini.*_
_*Pendapat pertama*_ menyatakan bahwa tes kesehatan itu terlarang dan tidak perlu dilakukan. Di antara ulama yang berpendapat seperti ini adalah Syaikh Ibnu Baz. Alasannya, bahwa tes kesehatan membuat kita tidak husnuzhan kepada Allah dan hasilnya tidak selalu akurat.
_*Pendapat kedua*_
menyatakan bahwa tes kesehatan dibolehkan dan tidak bertentangan dengan syariat Islam. Inilah pendapat jumhur (kebanyakan) ulama. Mereka beralasan bahwa dalam tes kesehatan tidak terdapat unsur pertentangan dengan syariat dan tidak berlawanan dengan kepercayaan kepada Allah. Ini hanyalah salah satu upaya. Ketika wabah penyakit Tha’un terjadi di Syam, ‘Umar radhiyallahu ‘anhu pernah berkata, “Aku lari dari takdir Allah yang satu menuju takdir Allah yang lain.”
*Pendapat kedua ini lebih tepat karena memandang:*
_*Pertama,*_ kita diperintahkan memiliki keturunan yang thayyib (baik), sebagaimana doa Nabi Zakariya ‘alaihis salam kepada Allah,
قَالَ رَبِّ هَبْ لِي مِنْ لَدُنْكَ ذُرِّيَّةً طَيِّبَةً ۖ إِنَّكَ سَمِيعُ الدُّعَاءِ
_“Zakariya berdoa kepada Allah, ‘Wahai Rabbku, berilah aku dari sisi Engkau seorang anak yang baik. Sesungguhnya Engkau Maha Pendengar doa’.”_ (QS. Ali Imran: 38)
Doa kaum mukminin pula kepada Allah,
رَبَّنَا هَبْ لَنَا مِنْ أَزْوَاجِنَا وَذُرِّيَّاتِنَا قُرَّةَ أَعْيُنٍ وَاجْعَلْنَا لِلْمُتَّقِينَ إِمَامًا
_“Wahai Rabb kami, anugrahkanlah kepada kami isteri-isteri kami dan keturunan kami sebagai penyenang hati (kami), dan jadikanlah kami imam bagi orang-orang yang bertakwa.”_ (QS. Al-Furqan: 74)
_*Kedua,*_ umat Islam diperintahkan menikahi wanita yang mempunyai banyak anak. Dari Ma’qil bin Yasaar radhiyallahu ‘anhu, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
تَزَوَّجُوا الْوَدُودَ الْوَلُودَ فَإِنِّى مُكَاثِرٌ بِكُمُ الأُمَمَ
_“Nikahilah wanita yang penyayang yang subur punya banyak keturunan karena aku bangga dengan banyaknya umatku pada hari kiamat kelak.”_ (HR. Abu Daud, no. 2050 dan An-Nasai, no. 3229. Al-Hafizh Abu Thahir mengatakan bahwa hadits tersebut hasan).
_*Ketiga,*_ diriwayatkan dari Umar radhiyallahu ‘anhu, dia berkata, “Setiap wanita yang laki-laki tertipu olehnya, di mana dia mempunyai penyakit gila, kusta, atau belang-belang, maka pihak wanita itu berhak mendapat mahar jika dia telah dicampuri, dan laki-laki berhak menuntut kembali mahar tersebut dari orang yang menipunya.” (HR. Malik, Abdurrazaq, Al-Baihaqi. Syaikh Abu Malik menyatakan bahwa perawi hadits ini terpercaya).
_*Keempat,*_ diperintahkan untuk melakukan nazhor dan mengetahui aib wanita yang dipinang. Dari Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu, ia berkata, “Aku pernah bersama Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam kemudian datanglah seorang laki-laki. Dia mengabarkan kepada beliau bahwa dirinya akan menikah dengan seorang wanita Anshar. Beliau bertanya kepadanya, “Apa engkau sudah melihatnya?” Dia menjawab, “Belum.” Beliau bersabda, “Pergi dan lihatlah dia. Sesungguhnya di mata kaum Anshar terdapat sesuatu.” (HR. Muslim, no. 1424)
_*Kelima,*_ berdasarkan dalil umum yang memerintahkan agar menjauhi orang yang terkena penyakit menular. Seperti sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, “Janganlah kalian mencampur orang yang sakit dan orang yang sehat.” (HR. Bukhari, no. 5771 dan Muslim, no. 2221). Dalam hadits juga disebutkan, “Larilah dari orang yang terkena kusta sebagaimana engkau lari dari singa.” (HR. Bukhari, no. 5380)
Adapun yang perlu diperhatikan dalam tes kesehatan antara lain:
1. Tidak dibolehkan memaksa orang untuk melakukan tes kesehatan jika tidak ada kebutuhan yang mendesak.
2. Paramedis yang melakukan tes ini haruslah menjaga rahasia dan aib orang yang diperiksanya agar tidak menjadi sebab munculnya berbagai kerusakan.
(Rumaysho / Keluarga Dakwah)